Asal-Usul Hotel
Sejak lahir, manusia sudah dikaruniai hobi jalan-jalan. Baik sekadar plesiran maupun yang berbau petualangan. Di antara banyak faktor pendukung kenyamanan plesiran, paling penting tentu soal akomodasi. Betapa tak enaknya jika piknik harus disambung acara bermalam di tengah hutan, lantaran sama sekali tak menemukan pondokan.
Makanya, berterima kasihlah kepada pebisnis tempat inap, mulai losmen sederhana hingga hotel berbintang. Tinggal tunjuk penginapan mana yang ditaksir. Kalau ternyata uang saku mencukupi, segala macam akomodasi dijamin beres dan memuaskan.
Hotel sendiri berasal dari kata hostel, konon dicomot dari bahasa Prancis kuno. Bangunan publik ini sudah disebut-sebut sejak akhir abad ke-17. Maknanya kira-kira, "tempat penampungan buat pendatang" atau bisa juga "bangunan penyedia pondokan dan makanan untuk umum". Jadi, pada mulanya hotel memang diciptakan untuk meladeni masyarakat.
Tak aneh kalau di Inggris dan Amerika, yang namanya pegawai hotel dulunya mirip pegawai negeri alias abdi masyarakat. Tapi, seiring perkembangan zaman dan bertambahnya pemakai jasa, layanan inap-makan ini mulai meninggalkan misi sosialnya. Tamu pun dipungut bayaran. Sementara bangunan dan kamar-kamarnya mulai ditata sedemikian rupa agar bikin betah. Toh, bertahun-tahun standar layanan hotel tak banyak berubah.
Sampai pada 1793, saat City Hotel dibangun di cikal bakal wilayah Kota New York. City Hotel itulah pelopor pembangunan penginapan gaya baru yang lebih fashionable. Sebab, dasar pembangunannya tak hanya mementingkan letak yang strategis. Tapi juga pemikiran bahwa hotel juga tempat istirahat yang mumpuni. Jadi, tak ada salahnya didirikan di pinggir kota.
Setelah itu, muncul hotel-hotel legendaris seperti Tremont House (Boston, 1829) yang selama puluhan tahun dianggap sebagai salah satu tempat paling top di AS. Tremont bersaing ketat dengan Astor House, yang dibangun di New York, 1836. Saat itu, hotel modern identik dengan perkembangan lalu lintas dan tempat beristirahat. Saat pembangunan jaringan kereta api sedang gencar-gencarnya, hampir di tiap perhentian (stasiun) ada hotel.
Maksudnya jelas, untuk mengakomodasi orang-orang yang baru saja bepergian dengan kereta api. Karena masa itu naik KA sangat melelahkan, hotel-hotel pun "dipersenjatai" berbagai hiburan pelepas penat. Hotel jenis ini, diembeli-embeli dengan kata "transit", karena memang ditujukan buat para musafir.
Toh, seiring dengan berkembangnya teknologi dan makin luasnya jangkauan angkutan darat (terlebih setelah ditemukannya kendaraan bermotor), kawasan sekitar rel KA tak lagi menarik minat para investor. Maklum, orang kemudian lebih suka jalan-jalan pakai mobil ketimbang kereta. Kepopuleran hotel transit pun tersaingi oleh kehadiran "motel", gabungan kata "motor hotel" alias tempat istirahat para pengendara kendaraan bermotor.
Kejayaan motel tak berlangsung lama. Seiring makin pesatnya perkembangan kota, berakhir pula era sang motel. Terutama karena letaknya yang agak di pinggir kota dan fasilitasnya yang kalah "wah" dengan hotel di pusat kota. Kalau pun terpaksa bermalam di kawasan pinggiran, motel harus bersaing dengan hotel resort, yang banyak tumbuh di tempat-tempat peristirahatan.
Selain hotel resort, anak-anak kandung hotel yang lahir di era 1990-an tak kalah hebatnya. Sebut saja berbagai extended-stay hotel, khusus buat tamu yang membutuhkan tempat menginap minimal lima malam. Sedangkan pelaku bisnis yang harus bernegosiasi di kampung atau negeri orang, bisa mencari hotel apartment. Di Amerika, dua jenis hotel ini berkembang sangat pesat.
Bagaimana di Indonesia? Tidur di hotel berbintang lima, resort, maupun hotel apartment barangkali cuma bisa dirasakan oleh segelintir orang. Tapi menjamurnya tempat semacam itu di sini, juga menunjukkan kita tak kalah langkah di "dunia perhotelan". Meski boleh jadi, praktiknya justru hotel-hotel melati atau motel yang lebih laku. Apa pun kecenderungannya, ambil saja hikmahnya.
Setidaknya, tak ada lagi kekhawatiran harus menginap di hutan gara-gara tak ada pondokan.
(int,okto 2001)
<< Home